KAPAN PULANG?



KAPAN PULANG?

Oleh: Alam Terkembang

sebuah nama selalu hadir. menyelindap masuk di malam ganjil. di jalanan Sabang. menyentuh genting di bibir anak-anak. datang bersimbah peluh. ada lagi riak rindu di sepanjang sungai Woila. di layap jarak Meulaboh – Langsa. nama itu limbung sebelum ubun-ubun musim bergemuruh.

/i/
Buleue dari jendelanya bertanya: mana yang lebih sedih, menyeka tangis atau melipat bayangnya? kadang ia merasa menjelma bunga jeumpa kecil dan asing. saat hujan tinggal sisa, ia ingin mengubah diri jadi langit berkabut. tetap ceria. dilambung tarian laweuet yang kukuh. juga tak henti menantinya. lalu mencari perjalanan yang tersembunyi itu. berharap jadi jalan pulang.

/ii/
di sana jarak terlalu jauh. (kemarin) meski sekotak puisi menemaninya, ia hanya bulan mati. shalawat suci dari menara-menara masjid, dan embun pagi yang selalu bergairah mendatangi juga terhenti. mungkin sepotong hatimu tak punya (lagi) rasa rindu. padahal orang-orang asing selalu datang. menyebut namamu. mereka mengenalmu.

/iii/
dulu kau kerap membawa sekeranjang bunga, juga doa. angka yang kau janjikan adalah kawanan nazar. ia suka nafasmu menetap di sekujur tubuhnya yang kini bergaris sepi dan menua dirajam waktu. pun telah lama ia dikerat kelelahan. debu-debu menelannya. yang tersisa hanya bangkai kenangan. dan jalan setapak ke kebun kopi yang kini hilang aromanya. terakhir kali ia bertanya; kapan pulang?

Pekanbaru, 01/04/2019

Posting Komentar

0 Komentar