Masihkah Ada yang Mau Duduk Denganmu?


Pada sebuah kursi panjang bernama bangku, di sebuah taman, halte, ruang tunggu bandara, terminal, koridor bioskop, kantor imigrasi, perpustakaan, ruang keluarga dan tempat lainnya, terkadang kosong tanpa ada yang menggunakan. Lain waktu bangku itu penuh terisi, meski terkadang hanya sebentar waktu. Lalu, kosong lagi. 

Syukurlah para penyedia fasilitas bisa memahami, betapa orang-orang yang melewati tempat umum tersebut sudah pasti sangat memerlukan fasilitas seperti itu. Tak peduli bagaimana pun bentuk dan warnanya, sekalipun mulai lapuk, selagi bisa untuk duduk pasti orang akan memanfaatkannya. Duduk dengan tenang, sambil berharap mudah-mudahan esok hari bangku tersebut sudah berganti dengan yang lebih kokoh dan elegan. 

Baca Juga: Saat Musibah Hadir Menyapa

Orang-orang yang berjalan kemudian ingin duduk, mereka hanya ingin melepaskan lelahnya kaki yang melangkah, walau hanya semenit. Lalu melangkah lagi dari satu titik ke titik yang lain. Setiap hari. Memang, sebuah bangku tidak akan bisa membayar lunas lelahnya sepasang kaki. Tapi setidaknya bisa mengurai lelahnya pikiran dan otot-otot yang tegang, hingga perjalanan bisa diteruskan. Pergi atau pulang. 

Lain halnya dengan mereka yang memanfaatkan bangku untuk menikmati suasana taman, pemandangan senja di sebuah pantai, membaca buku di perpustakaan dan dengan ragam aktivitas lainnya. Meraka sudah pasti ingin menuntaskan aktivitasnya itu dan bebas dari segala bentuk gangguan di bangku itu.


Di sinilah kita mulai sadar, bahwa keberadaan kita juga ternyata bersinggungan dengan keberadaan orang lain. Ada interaksi walau hanya sebatas tatap. Keramaian membuat jarak kian dekat kian tidak terelakkan. Termasuk dalam hal duduk ini. 

Dan inilah saat-saat kita bisa mengukur apakah keberadan kita membuat orang lain nyaman atau sebaliknya. Bisa jadi hanya karena aroma dari badan atau dari baju yang melekat membuat orang lain menghindar. Padahal seharusnya orang-orang di sekitar tak perlu terganggu dengan adanya kita. Nyaman dan betah. Bila orama kita wangi atau minimal tidak menimbulkan bau yang membuat sesak nafas orang lain, pastilah tidak jadi masalah. Namun, bila sebaliknya orang akan berprasangka buruk dengan kita. Padahal bila itu tidak terjadi, bukan tidak mungkin orang-orang yang sebangku itu akan  menjadi sahabat yang paling bisa memahami kita. 


Duhai, bagaimana sekiranya aroma tak sedap itu salah satu bukti adanya dosa-dosa yang melekat di diri kita, sudah pasti kita akan ambyar, sedih dan menangis. Orang akan benci. Menuduh kita radikal. Sampah masyarakat. Apakah mungkin kita masih berani keluar rumah? Lalu, kita bisa berbuat apa? Siapa yang sudi berteman atau mau melayani kita yang beraroma busuk?

Suatu ketika Ibnu Mas'ud berwasiat kepada murid-muridnya, “Muhammad bin Waasi’ berkata, “Kalau seandainya dosa itu memiliki bau maka tidak seorangpun dari kalian yang akan duduk denganku”


Mahacinta Allah yang begitu sayang pada hamba-hambaNya yang tak ingin mempermalukan hambaNya. Dia begitu memahami bahwa ciptaanNya takkan mampu menghadapi itu semua. Dia berikan kesempatan kepada kita untuk bercermin, menghitung-hitung kesalahan kita sendiri saja (bukan orang lain) dan mememohon ampunan dariNya. Semoga dari sana akan ada i'tikad baik untuk memperbaiki diri. Hingga Allah sang pencipta memberikan anugerah wangian kebaikan yang membuat siapapun bahagia. Kita pun tak perlu khawatir sebangku dengan siapa. Semoga!


Foto: unplash.com



Posting Komentar

4 Komentar

  1. Teman duduk dalam bersendiri, bisa juga berinteraksi dengan buku dan Al-Quran 😊

    Terima kasih tulisannya bg..

    BalasHapus
  2. Saya coba akan tulis tentang itu suatu waktu. Terimakasih.

    BalasHapus
  3. Aamiin. Terimakasih atas tulisan motivasinya Bang.

    BalasHapus