Segayut itu: Di Balik Pintu


Ada segayut itu, rumah masa lalu, warnanya semakin tua. Seiring tegaknya waktu, menyentuh luka.


Begitu dekatnya ia. Tapi tak bisa kugapai. Pikiran yang ditimang-timang sobekan kisah. Perlahan menjadi candu, lalu sebuku dengan rindu. Terasa masih; asam-garamnya, tertatih pahit manis mencecap madu, lekang kulit kayu, dan desis nyanyian daun di celah ilalang, malu-malu menjelma sebagai aku.


Jantungku bermukim terlalu dekat. Separuh napasku kucurigai membuat detaknya cemas. “Jangan kau nyalakan lampu.” Pintu yang merayu diketuk. 
Dalam gelap aku ingin  mengintip dari ujung cakrawala lebih lama.

Duhai, ingin sekali membukanya, tapi aku surut. Tiap kali membalikkan badan, ia raib dan terjerat cermin. Sering aku mengamati di tiap merias wajah hari. Terkadang menjelma gaduh, dari balik pintu yang tak asing: sebuah babak genting.


Malam mengajarku bertanggungjawab. Kumintai engkau dan menjelmakan yang hilang. Seperti yang pernah kita telisik dalam puisi. Meski kadang sulit untuk kukelabui: jiwaku disimak sayang.


Payungsekaki, 15/1/2020


--------------------------

Biodata Penyair:
Alam Terkembang adalah nama pena dari Muflih Helmi yang Lahir pada 27-12-1984. Puisinya tergabung dalam antologi puisi; Munajat Sesayat Doa (2011), Memahat Mega Makna (2012), Riwayat Asap (2015), Puisi Hijau Resonansi Serindit (2016). Puisi Kopi Dunia: Puisi 1.550 MDPL (2016). Matahari Sastra Riau (2017), Metamorfosis Rimba (2017), dll. Menjadi nominator Anugerah Sagang Kategori Karya Penelitian Sagang (2012).




Posting Komentar

2 Komentar

  1. Puisi yang bermakna. Layak untuk diapresiasi.. 😊

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kemaren bang Riki sudah. Listi kali ini yang ngulas ya. Hehe

      Hapus