Puisi
benar-benar hadir setelah melewati serangkaian permenungan sang penyair. Permenungan
itu bergerak cermat dan rinci; terkendali, juga kadang semrawut. Nuansa hati ikut bermain-main kadang dalam mengumpulkan
satu demi satu tangkapan ide itu. Hingga akan menjadi padat ketika dituliskan,
walau dengan tema apapun dan mengolahnya dengan bentuk juga gaya (style) apapun akan menjadi ringan,
terarah, juga langgeng dituliskan,
akhirnya menjadi sebuah puisi utuh yang padat.
Banyak
perihal yang dapat dikemukakan atau dibawa dalam puisi, seperti dalam sayembara yang mengharuskan ketentuan sebuah
tema; baik tema berbentuk kata tunggal atau berbentuk kalimat, yang semua dirasa harus (mau tak mau) sang penyair
berupaya bereksplorasi dalam menggali atau memadatkan ide itu. Eksplorasi[1]
yang dilakukan oleh penyair sangat beragam, hal itu sesuai pemahaman dan
intuisinya[2].
Pemahaman terhadap suatu hal akan memudahkan untuk penyair memadatkan tema yang
sedang digalinya, hingga perasaannya ikut pula bermain untuk menajamkan dari
“permenungannya” itu.
Joko
Pinurbo begitu dalam terhadap permenungannya pada kitab Injil. Sebagai penganut
Nasrani yang teguh, Jokpin (sapaan akrabnya) banyak menggali ayat-ayat Injil
untuk mendapatkan inspirasi. Diksi-diksi tokoh dalam cerita kisah Nabi
Isa—tentu dalam perspektif Nasrani—sangat menarik perhatian bagi Jokpin untuk
digali menjadi puisi. Dalam puisinya “Celana” sebagai deskripsi dari kisah
Yesus yang disalib, yang kita tahu Yesus—seperti banyak terdapat di
gambar/posternya—hanya mengenakan kain menutupi aurat, namun intuisi penyair
ikut bermain hingga dalam “galiannya” mampu memberi pemaknaan mendalam untuk
hal itu.
Senada
dengan puisi-puisi Nirwan Dewanto dalam kumpulan Jantung Lebah Ratu. Nirwan asyik mengolah segala hal menjadi padat
makna. Perihal buah-buahan, aneka nama flora dan fauna, nuansa wilayah dalam
suatu daerah, kehidupan para tokoh dunia, juga aneka makanan serta nuansa
eksotik sebuah tempat menjadi padat dalam puisi dan menghadirkan nuansa puitis.
Seperti Melani Budianta berujar, “Jantung Lebah Ratu merengkuh berbagai tradisi
perpuisian—sinestesia, permainan tipologi, pantun dan prosa liris, misalnya—untuk
memperluas potensi kata, sensasi imajinasi dan nuansa makna.”
Pembacaan
dari sidang pembaca memang beragam, sekaligus mencoba terus menelusuri secara
bertahap-tahap (meraba-raba) untuk menikmati sebuah puisi. Puisi tidak hadir
dengan satu nuansa keindahan, tapi beragam keindahan. Baik dari segi bentuk, cara
ungkap, dengan diksi pilihan. Selain itu, tiap-tiap puisi yang dituliskan oleh
seorang penyair akan dirasa mampu memberi pemaknaan beragam bagi pembaca, bila
pembaca (penikmat) terus menguntitnya, menyusurinya tiap kelokan keindahan
dalam puisi-puisi itu hingga membuatnya terpesona. Seorang lagi yang menuliskan
kesannya pada Jantung Lebah Ratu itu,
“… ia suntuk menggali kekayaan kosakata, menghidupkan beragam jenis
flora-fauna, meluputkan diri dari jebakan permainan bunyi atau metafor yang
kadaluwarsa (Enin Supriyanto).
Tanggapan
beragam yang apresiatif itu sebagai bentuk sikap penilaian pembaca akan karya
puisi. Memang kadar tiap penyair dalam mengungkapkan sesuatu dalam puisinya
berbeda. Antara penyair satu dengan lainnya akan tampak ciri khasnya. Hal itu
salah satunya ditonjolkan pada gaya ungkap. Antara Rendra dan Sutardji berbeda,
Rendra begitu familiar bermain pada nuansa protes-protes sosialnya, dengan gaya
puisi pamflet ia berusaha membahasakan kritik sosial dengan dengan kepalan
tangan yang menggugah. Sedang Sutardji asyik-masyuk menggali agar puisi
terbebas dari beban makna, puisi—bagi Tardji—mesti bebas dari segala yang
mengikat dan jadilah puisi di tangannya sesuatu berkesan dan memukau seperti
mantra-mantra dengan kredonya. Begitu pula antara Sapardi dan Taufik Ismail.
Sapardi melenggang dengan kesederhanaannya, tanpa beban, tanpa pura-pura puitis
atau juga sok pintar, baginya puisi “bilang begini, maksudnya begitu,” yang
penuh pesona ditulisnya dari nuansa pengalaman-pengalaman batin. Sedang Taufiq
berjalan di atas sikap sosial-politiknya. Puisi harus mampu mengawal perjuangan
suatu perubahan sosial, puisi harus berbicara dan mampu berbuat seperti
tangan-tangan manusia agar mewakili manusia menuju jalan kebenaran. Juga antara
Joko Pinurbo dan Mustofa Bisri. Joko Pinurbo yang asyik dengan pencarian bentuk
pengucapan lewat pendalaman batinnya akan agama (Nasrani) serta permenungannya
terhadap hakikat tubuh, hingga puisi di tangan penyair humoris ini selalu
menggelitik bila puisi nya diaprsiasi di atas panggung. Sedang Mustofa Bisri
yang tak jauh dari tradisi pesantren membawa nilai-nilai Islami dalam nada-nada
puisinya sehingga mampu menawarkan kesan-kesan kecintaan kepada Allah SWT.
Begitu pula karya penyair lainnya, akan membawa “misi” kepenyairannya
masing-masing kepada sidang pembaca.
Puisi
dapat dibawa dengan gaya apapun. Seperti dalam Jantung Lebah Ratu, Nirwan juga “berkesperimen” dengan gaya
(bentuk) pantun, gurindam, haiku, yang tentu ada hal-hal eksplorasi bentuk juga
kalimat yang dibawanya. Hal senada—dalam pembacaan saya—juga dilakukan oleh
Hasan Aspahani yang pernah menuliskan puisi-puisinya dalam gaya pantun juga
gurindam. Semua itu bentuk kategori puisi lama, yang oleh penyair dihidupkan
kembali, di”permak”, di”patenkan” lagi menjadi nuansa kekinian yang tentu dalam
pengolahannya mencerminkan sikap—kalau boleh dikatakan—idealis penyairnya.
Sikap itu, setidaknya mencerminkan prinsip ketika sang penyair berkarya. Jadi,
sah-sah saja.
Simbolisasi dalam Tubuh Puisi
Puisi
sudah tentu kaya dengan nuansa simbol. Simbol dapat juga diartikan lambang.
Lambang dalam sisi linguistik berhaluan pada konotatif. Konotatif itu bersifat
konotasi. Sebagaimana lazim kesan puitis yang penuh makna, rasanya tentu hambar
kalau tidak menaburnya dengan hal yang bersifat konotasi ini. Dari soal gaya (style) yang digunakan penyair, akan
tetap kaya dengan nuansa makna konotatif. Kita tahu, puisi-puisi Taufiq Ismail
terkesan biasa-biasa saja bentuk dan kalimatnya, namun kalau kita telisik lebih
dalam, akan tampak nuansa kalimat simbol itu. baca saja kumpulan puisinya
“Tirani dan Benteng,” atau “Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia”. Begitu pula
puisi-puisi karya Rendra, yang dengan gaya famplet itu, terkesan biasa,
sederhana, lugas kalimat-kalimatnya, namun juga penuh simbol dalam pembawaan
kata-kata (diksi)nya. Begitu pula halnya dengan Joko Pinurbo, Gunawan Mohamad,
Afrizal Malna, Linus Suryadi, Sapardi Djoko Damono, Sitok Srengenge, Gus Tf, dan
lain-lain, puisi-puisi mereka kaya simbol dan oleh sebab itu dapat dihayati
oleh permenungan yang dalam.
Membaca
puisi pada hakikatnya bukan sekadar membaca sekilas. Sekali atau dua kali baca
lalu tuntas, tanpa kita tahu apa yang terkandung di dalamnya. Puisi sejatinya
mencerminkan makna yang dalam oleh diksi dan kalimat yang dipaparkan penyair.
Pembacalah yang menerobos benteng simbol-simbol itu untuk dapat masuk menyelami
makna tersirat di dalamnya. Hingga tabir terbuka dan menjadi terang dari suatu
hal tersebunyi (yang kenyataannya memang sengaja disembunyikan penyairnya)
menjadi penting dipelajari, dihayati, sekaligus dimiliki oleh pembaca. Bukankah
kalimat puisi ada yang menjadi kalimat favorit bagi pembaca? Hingga dituliskan
dimana-mana.[3]
Untuk itulah adakalanya nuansa kalimat puisi mampu “dimiliki” oleh pembaca.
Saya,
setidaknya berusaha keras—meski tidak bermaksud berlebihan—dari pembacaan
sebuah puisi. Sebuah puisi dengan pembawaan lembut, lugas, namun terkesan
cermat, teliti, puitis, hingga untuk itu ia menjadi padat. Puisi dengan judul
“Pintu Waktu” yang disusun dari frasa simbolis yang bernuansa kontradiktif.
Hemat saya, sejatinya harus begitu, meski bukan suatu hal mutlak. Sebab judul
puisi kadangkala harus memiliki diksi perbandingan dari dua diksi yang berbeda
arti (termasuk yang paling dominan pada perihal prosa). Dalam puisi, sedikit
banyak, menjadi penting untuk dipertimbangkan bagi penyair. Sebab akan
membangun kesan puitis.
“Pintu Waktu” yang dikarang oleh Alam Terkembang, seorang penyair muda berbakat yang asyik-masyuk
dengan dunia kesunyiannya telah menulis banyak puisi dalam naungan markas Rumah
Prosa. Tidak sedikit saya telah membaca karya penyair yang tunak menggerakkan
dunia literasi dari Forum Lingkar Pena ini, dan kini hadir kembali dengan puisi
yang, hemat saya, telah berhasil sebagai puisi yang utuh. Pintu Waktu tidak sebatas
hadir sebagai sebuah puisi yang lugas, namun penuh tafsiran, juga bukan hanya
sederhana, namun padat. Tidak semata-mata berbicara religius, namun ada
simbolisasi sosiologis. Tidak menuntut kesan mewah, namun sederhana dan cermat
dalam penggalian tema juga diksi.
Puisi
diawali oleh pembukaan /tiga ratus enam
puluh lima pertanyaan;// sebuah kalimat introgatif yang menuntut berpikir
dari angka itu. Lalu dilanjutkan dengan bait kalimat /perkara kehadiran, perihal detik, dan ihwal rindu// belum tuntas
kutengarai jawabannya/ Di sini penyair mencoba memberikan pertanyaan
sebagai cerminan bagi kita untuk berpikir tentang suatu hal. Penyair mengatakan
dengan angka 365 dan dipautkan dengan perkara: kehadiran, detik, rindu. Tiga kata ini berupa simbol yang menyita
perhatian untuk ditelisik. Mengapa tiga hal itu menjadi prioritas bagi penyair?
Dan gerangan apakah yang ada disebaliknya hingga penyair memilih tiga diksi
penting itu. Sebelum menjawab pertanyaan itu, penyair melanjutkan dengan
kalimat “belum tuntas kutengarai jawabannya.” Di sini penyair mengatakan belum
sempat mendapat jawabannya, atau sejatinya ia sengaja “menyembunyikan”
jawabannya? Untuk itulah diperlukan pembacaan cermat dan penafsiran dari
pembaca. Setidaknya, penyair memberikan peluang kepada kita untuk menemukan
sendiri apa makna dari tiga kata kunci itu: kehadiran, detik, dan rindu.
Bait
pertama lalu ditutup dengan kalimat /kulepas
pergi buru-buru/ hanya jejak perlahan, terhapus gerimis// Sebuah kalimat
yang berkesan tanpa basa-basi, penyair meninggalkan (pertanyaan) itu sekaligus
tiga kata pokok itu, buru-buru. Seolah ada sesuatu yang ia dikejar. Lalu
jejaknya pun perlahan dihapus gerimis, yang berarti ia memang sengaja tidak
ingin meninggalkan jejak apakah sebatas untuk dikenang atau memang harus
dikenang kelak.
Puisi
ini penuh simbolik. Bait pertama yang diolah padat itu mencerminkan pemaknaan
jauh bila digali mendalam. Semakin dalam penggalian itu akan dirasa ada sesuatu
yang berarti pada sebuah hal. Kita telusuri lagi dari kata kunci “kehadiran”,
“detik”, dan “rindu”. Di awal penyair mengatakan dengan kalimat tiga ratus enam puluh lima, sebuah angka
yang dapat kita telusuri artinya jumlah hari selama setahun. Sebuah jumlah yang
besar. Lalu jumlah hari itu dijadikan oleh penyair menjadi pertanyaan dari
perkara: kehadiran, detik, dan rindu. Bait pertama puisi berjudul “Pintu Waktu”
ini dapat ditafsirkan bahwa kita sebagai hamba Allah SWT diberikan izin untuk hidup
di dunia ini. Manusia yang telah diberi rezeki panjang umur yang tiap tahunnya sejatinya
harus dibarengi dengan kesyukuran yang tinggi kepada Allah. Manusia (kita)
sudah semestinya mengisi angka 365 itu yang menjadi jatah hidup dari Allah
dengan sebaik-baiknya, sehingga akan menemukan keberkahan dalam hidup ini. Senada
dengan itu penyair bilang, “perihal kehadiran” bahwa kita hadir di dunia ini
untuk apa? Ditelusuri lagi, sudahkah kita sering hadir di rumah Allah (masjid)?
Dan “perihal detik” yang penyair sebutkan dapat memiliki arti sudahkah kita
memanfaatkan hidup kita ini dengan amal dan ibadah? Bahwa kita bernafas setiap
detik (baca: setiap saat) adalah kenikmatan (rezeki) dari Allah, sudahkah kita
bersyukur dalam hal itu? Lalu penyair berkata lagi, “Ihwal rindu” dapat
ditelusuri apakah kita hanya mengharap dunia ini sebagai kehidupan kita? Tanpa
kita merasa rindu akan akhirat? Bukankah negeri akhirat sejatinya kehidupan
bagi orang yang beriman kepada Allah daripada dunia yang fana ini? Bahwa pula,
lebih jauh, dunia adalah tempat kesenangan yang sementara (permainan dan sanda
gurau belaka) dan akhirat (surga) adalah tempat sesungguhnya (terbaik) bagi
orang-orang beriman. Untuk itu—seperti kata penyair—kita harus rindu, “ihwal
rindu” itu.
Untuk
itulah kita harus sadar dan intropeksi akan hidup ini yang telah Allah
panjangkan umur kita dalam setahun, yaitu selama 365 itu dengan intropeksi dari
kehadiran, sejauh mana kita menggunakan umur (detik), dan sejauh mana kita
mengingat kampung akhirat (perihal rindu) dengan hal itu—sekaligus dapat kita
telusuri bahwa banyaklah mengingat kematian, sebagaimana Rasulullah bilang
kepada para sahabat.
Bait
kedua dituliskan /di depan pintu hari.
Aku malu menerima/ tanda tanya lagi//. Penyair (aku lirik) mencoba
memberikan semacam kesan sikap sadar akan diri yang masih kurang dalam
pencariannya mendekatkan diri kepada Tuhan. Frasa “pintu hari” dirasa selaras
dalam hal ini mengingat tema yang diusung mencerminkan hakikat memertanyakan
kondisi diri. Lalu, aku lirik “malu (untuk) menerima tanda tanya lagi” ada
kesan simbolis bahwa tanda tanya itu dari tiga kata di bait pertama yang—dalam
hal ini—masih belum terlaksana/diamalkan benar oleh si aku lirik, sehingga
membuatnya sadar diri. Kalimat puisi dilanjutkan /baru saja pagi menawarkan angan-angan “belum pasti”// aku mendahului//
berlari dalam gigil mengejar waktu//. Di sini ternyata si aku lirik sadar
untuk tidak lagi terikut atau goyah pada hal-hal yang menghambatnya
mendekatkan/ pencarian jati diri menuju kepada Tuhan, karena ketika ia melangkah
mengawali pagi yang begitu mudah menawarkan angan-angan tapi aku lirik sadar
bahwa itu “belum pasti” (tanda kutip dapat dimaksudkan sebagai sebuah
penegasan) hingga aku lirik terus mendahului (berlari) meninggalkan segala hal
yang tidak baik itu dalam gamangnya (gigil) untuk mengejar kebaikan
(mengejar/memanfaatkan kebaikan) dalam rangka mencari ridho Tuhan (Allah SWT).
Sejatinya
bahwa kehidupan adalah sementara yang dalam hal ini penyair menyimbolkan “pagi
menawarkan angan-angan…” bahwa dunia ini penuh dengan angan hingga manusia
terus berangan. Apabila manusia tidak mampu mengerem angannya maka dia akan
tergelincir untuk mencintai dunia dan lupa kepada akhirat, lupa atau jauh untuk
mau beramal kebaikan. Tapi penyair melewati aku lirik mampu mengerem semua itu
bahwa ia “terus berlari” karena hal-hal itu (dunia) adalah “belum pasti”. Bahwa
pula kita manusia hanya bisa berusaha sungguh-sungguh akan suatu hal, maka
apabila telah sungguh-sungguh, insyaAllah akan menemukan hasil. Namun tentu
jangan kufur nikmat untuk tidak bersyukur kepada sang Khalik.
Bait
ketiga, diawali /duhai, jalanku tertutup
hujan/ aku terjebak dalam kumpulan sajak: namun ibadah yang tak bosan membuka
derit/ pintu-pintu muhasabah/ aku bergeming/ meraba jawaban yang sebenar ada//. Kalimat ini ringkas, padat, dan simbolik.
Sebagaimana bait kedua tadi kalimat bait ketiga ini memiliki kesinambungan
bahwa berusaha dalam mencapai sesuatu—dalam rangka memanfaatkan hidup ini untuk
kebaikan—kadangkala dihadang oleh hambatan-hambatan. Penyair menyimbolkan
dengan kalimat “jalanku tertutup hujan” bahwa kendala-kendala untuk kita
berbuat sesuatu kebaikan pasti kadangkala menemui hambatan. Dalam kitab suci
Al-Quran, diceritakan bahwa Iblis (setan) berkata untuk berupaya keras
mengganggu anak-anak Adam (manusia). Ia akan mendatangi manusia dari segala
penjuru, dari depan-belakang, kanan-kiri hingga manusia luluh dengan godaannya
dan mengikuti jalannya. Kecuali mereka (manusia) yang ikhlas beribadah kepada
Sang Khalik, yang tidak akan mampu dibendung oleh godaan setan.
Meski
penyair mengatakan bahwa jalannya terhambat oleh sesuatu, dia tetap bersikukuh
untuk berjuang menemukan jalan terang, yaitu jalan ridho Ilahi dalam rangka
mengisi kehidupan penuh manfaat tadi yang sesuai dengan pertanyaan dan mengisi
hari-hari (yang disimbolkan dengan kalimat angka 365) hari itu. Bahwa kegagalan
dalam hidup adalah sebuah hal biasa karena itu sebuah ujian, seperti yang
dituliskan oleh penyair, “aku terjebak dalam kumpulan sajak” namun penyair
terus mencari jalan keluar dari hal itu, ia akan “menuju ke rumah ibadah
(masjid) yang tak bosan membuka derit. Juga berusaha untuk terus muhasabah
(diri) agar mampu membersihkan hati untuk memiliki jalan yang terang menuju
ridho Ilahi. Meski demikian, penyair masih bergeming: mempertanyakan sejauh
mana ia telah berhasil sambil “meraba jawaban yang sebenar ada.” Bahwa
jawaban-jawaban dari hasil kita melakukan amal dan ibadah itu hakikatnya hanya
Tuhan (Allah SWT) yang tahu secara pasti. Kita (manusia) hanya dituntut untuk
tunduk dengan segala perintah-Nya. Bukankah begitu?
Maka
membaca puisi “Pintu Waktu” karya Alam Terkembang ini dapat membawa daya tafsir
yang jauh. Puisi ini diolah dengan padat dan kaya simbol dari frasa yang
benar-benar dipilih. Ungkapan yang jauh dari kesan berlebihan dan fokus pada
tema yang sedang dibawakan menjadi penuh makna. Namun kalimat “Aku terjebak
dalam kumpulan sajak” hemat saya menjadi terkesan hambar, oleh sebab sedikit
kurang mengena dari ihwal yang dibawakan tema itu—sekaligus metafor yang telah
banyak ditulis oleh para penyair lain. Meski demikian boleh saja dan bisa saja
pembaca menafsirkan “terjebak kumpulan sajak” itu sebagai “sebuah hambatan
dalam menjalani hidup.” Karena dapat pula diibaratkan hidup ini adalah puisi,
atau hidup ini tak jauh dari rasa puitis karena penuh dengan pemaknaan,
sekaligus kadang absurd, untuk itu harus dimaknai. Demikian. Salam puisi. (*)
Selatpanjang, Januari 2020
Riki Utomi: Penulis
tinggal di Selatpanjang, Kepulauan Meranti. Bukunya yang telah terbit Mata Empat (2013), Sebuah Wajah di Roti Panggang (2015), Mata Kaca (2017), Menuju ke
Arus Sastra (esai, 2017), Belajar
Sastra Itu Asyik (2019). Amuk Selat
(puisi, 2020) proses terbit. Kini sedang menyiapkan kumpulan cerpen keempat Anak-Anak yang Berjalan Miring dan
kumpulan esai kedua Menjaring Kata,
Menyelam Makna.
[1]
Kegiatan untuk memperoleh mengalaman baru dari situasi yang baru.
[2]
Intuisi dalam bahasa sederhana bisa diartikan getaran hati (jiwa) akan sesuatu
hal (kausalitas) yang dihadapi atau yang akan terjadi. Getaran hati atau
mungkin bisa juga diartikan “perasaan” akan sesuatu (itu) muncul atau terasa.
[3] Dapat
dilihat semisal puisi-puisi Chairil Anwar berjudul Aku, satu kalimat
fenomenalnya “Aku ini binatang jalang, dari kumpulan terbuang, atau kalimatnya
yang lain “Aku ingin hidup seribu tahun lagi”. Pada puisi Sapardi berjudul Aku
Ingin dengan kalimat puitisnya “Aku ingin mencintaimu dengan sederhana”
memberikan nuansa romantik untuk dijadikan tulisan dalam beragam hal yang
bertemakan tentang cinta.
2 Komentar
Terima kasih atas ulasan yang sangat menarik ini. Saya sepakat bahwa setiap kata dalam puisi mengandung simbol yang kaya sekali dengan makna.
BalasHapusKarya-karya puisi hasil buah pikir dari Penyair Riau, Alam Terkembang, banyak memberi kesan intuisi bagi pembaca.
Selamat berkarya dan tetap menginspirasi..
Terimakasih Listi
Hapus